Belajar Online Free
Toko Muslim Diskon

Hakekat Puasa

Hakekat Puasa

Hakekat Puasa


Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Seseorang yang beriman akan bisa mengetahui tentang hakikat puasa dengan mengenal karakteristik-karakteristiknya, baik itu hikmah pensyari’atan puasa, buah, tujuan, maksud, dan ruh ibadah puasa. Dalam beberapa seri artikel berikut, dengan taufik dan izin Allah, penulis akan nukilkan beberapa penjelasan ulama tentang hal itu. Semoga bermanfaat,

Hikmah Puasa


Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqarah: 183).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menafsirkan Ayat di atas,

يخبر تعالى بما منَّ به على عباده, بأنه فرض عليهم الصيام, كما فرضه على الأمم السابقة, لأنه من الشرائع والأوامر التي هي مصلحة للخلق في كل زمان. وفيه تنشيط لهذه الأمة, بأنه ينبغي لكم أن تنافسوا غيركم في تكميل الأعمال, والمسارعة إلى صالح الخصال, وأنه ليس من الأمور الثقيلة, التي اختصيتم بها

“Allah Ta’ala memberitahukan tentang anugerah yang Allah anugerahkan untuk hamba-hamba-Nya, berupa diwajibkan bagi mereka berpuasa, sebagaimana diwajibkan bagi umat-umat sebelumnya, karena puasa termasuk syari’at dan perintah yang bermanfaat bagi makhluk di setiap zaman. Di dalamnya terdapat dorongan semangat bagi umat ini, yakni selayaknya kalian berlomba-lomba dengan (umat) sebelum kalian dalam menyempurnakan amal dan bersegera dalam kebaikan, dan (hal itu) bukanlah perkara berat yang (diwajibkan) bagi diri kalian saja” (Tafsir As-Sa’di).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan hikmah diperintahkannya berpuasa,

لما فيه من زكاة النفس وطهارتها وتنقيتها من الأخلاط الرديئة والأخلاق الرذيلة

“Karena di dalam ibadah puasa itu terdapat kesucian jiwa dan kebersihannya serta mensterilkan dari kotoran yang buruk dan akhlak yang hina” (Tafsir Ibnu Katsir).

Sedangkan Al-Baghawi rahimahullah, saat menjelaskan mengapa dengan berpuasa seorang hamba bisa meraih ketakwaan, berkata,

لما فيه من قهر النفس وكسر الشهوات

“Karena di dalam ibadah puasa itu terdapat pengendalian hawa nafsu dan penundukan syahwat” (Tafsir Al-Baghawi).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan lebih rinci tentang bentuk ketakwaan yang diperoleh dengan berpuasa, setelah menyebutkan firman Allah,

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Agar kalian bertakwa”, dengan mengatakan,

فإن الصيام من أكبر أسباب التقوى, لأن فيه امتثال أمر الله واجتناب نهيه

“Sesungguhnya puasa termasuk salah satu sebab terbesar diraihnya ketakwaan, karena di dalam ibadah puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya”

فمما اشتمل عليه من التقوى: أن الصائم يترك ما حرم الله عليه من الأكل والشرب والجماع ونحوها, التي تميل إليها نفسه, متقربا بذلك إلى الله, راجيا بتركها, ثوابه، فهذا من التقوى

“Yang termasuk dalam cakupan takwa (yang terdapat dalam ibadah puasa ini, pent.) adalah bahwa seorang yang berpuasa meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum, bersetubuh, dan lainnya yang disenangi oleh nafsunya, dengan niat mendekatkan dirinya kepada Allah, mengharap pahala-Nya dengan meninggalkan perkara-perkara tersebut, maka ini termasuk bentuk ketakwaan.”

ومنها: أن الصائم يدرب نفسه على مراقبة الله تعالى, فيترك ما تهوى نفسه, مع قدرته عليه, لعلمه باطلاع الله عليه

Dan diantara bentuk-bentuk ketakwaan dari ibadah puasa ini adalah bahwa orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, sehingga ia meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya, padahal ia memiliki kemampuan untuk melakukannya, karena ia meyakini bahwa Allah mengawasinya.

ومنها: أن الصيام يضيق مجاري الشيطان, فإنه يجري من ابن آدم مجرى الدم, فبالصيام, يضعف نفوذه, وتقل منه المعاصي

“Dan diantaranya juga bahwa orang yang berpuasa berarti menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuhnya, karena setan berjalan dalam diri keturunan Nabi Adam -‘alaihis salam- di tempat aliran darah. Maka dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan karenanya.”

ومنها: أن الصائم في الغالب, تكثر طاعته, والطاعات من خصال التقوى

“Di antaranya pula bahwa orang yang berpuasa pada umumnya banyak melakukan ketaatan, sedangkan ketaatan adalah bagian dari ketakwaan”

ومنها: أن الغني إذا ذاق ألم الجوع, أوجب له ذلك, مواساة الفقراء المعدمين, وهذا من خصال التقوى

“Di antaranya adalah orang yang kaya jika merasakan lapar (saat berpuasa), hal itu mendorongnya untuk meringankan kesulitan orang-orang fakir yang tak berharta, dan ini adalah bagian dari ketakwaan” (Tafsir As-Sa’di)

Kesimpulan:


  • Seseorang jika benar-benar berpuasa dengan ikhlas dan sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka akan menghasilkan,
  • Puasa termasuk sebab terbesar diraihnya ketakwaan, karena itu ia melahirkan berbagai bentuk pelaksanaan perintah Allah dan berbagai bentuk menjauhi larangan-Nya.Kesucian jiwa dan kebersihannya.
  • Mensterilkan dari kotoran yang buruk dan akhlak yang hina.
  • Pengendalian hawa nafsu dan penundukan syahwat.
  • Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala.
  • Ibadah puasa hakikatnya merupakan bentuk tarbiyyah (pendidikan) sosial kemasyarakatan, mendidik pelakunya menjadi insan yang peka terhadap masyarakatnya dan bentuk tarbiyyah tersebut berupa:
  • Memperkuat kasih sayang dan semangat tolong menolong dalam kebaikan di antara kaum muslimin, antara si kaya dengan si miskin, karena si kaya merasakan sebagian kesulitan si miskin berupa rasa lapar saat berpuasa.
  • Memupuk persatuan diantara kaum Muslimin, karena mengawali puasa Ramadhan dan mengakhirinya secara bersama-sama, sahur dan buka pun pada waktu yang bersamaan.
  • Mengajarkan kesamaan kedudukan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, bangsawan bernasab tinggi, dan rakyat yang tak bernasab tinggi, tidak ada yang membedakan diantara mereka kecuali ketakwaannya. Masih banyak faidah-faidah lainnya, hal ini terisyaratkan dalam firman Allah,

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui” (Al-Baqarah: 184).

Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi dalam kitabnya Aisarut Tafasir menjelaskan bahwa ayat di atas mengisyaratkan kepada faidah-faidah puasa yang banyak, baik faidah diniyyah (Agama) maupun Ijtima’iyyah (sosial kemasyarakatan).

Jadi, sosok insan yang berpuasa dengan puasa yang benar dan sempurna akan menghasilkan berbagai bentuk ketakwaan, namun sebaliknya, jika puasa seseorang tidak membuahkan berbagai bentuk ketakwaan maka curigailah puasanya tersebut! Bukan mustahil yang didapatkannya adalah haus dan lapar saja!

Secara lahiriyyah ia berpuasa, namun hakikatnya ia tidak berpuasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش

“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga” (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani mengatakan hasan sahih)

Alangkah indahnya ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Al-Ubudiyyah:

فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر

“(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakikat (sesuatu), tidak terjebak dengan lahiriyyahnya”.

Puasa yang sempurna adalah puasa lahir dan batin


هذا هو الصَّوم المشروع لا مجرَّد الإمساك عن الطَّعام والشَّراب

“Inilah sesungguhnya puasa yang disyari’atkan, ia tidak sekedar menahan dari makan dan minum!”

demikian tutur seorang Imam besar, dokter hati kaum Muslimin, Ibnul Qoyyim rahimahullah.

Memang demikian, sesungguhnya puasa yang disyari’atkan bukanlah sekedar menahan dari makan dan minum, namun hakikatnya adalah puasa yang meliputi dua dimensi sekaligus, lahir maupun batin. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah rahimahumullah dari dulu telah menjelaskan tentang hakikat puasa yang memiliki dua dimensi ini sekaligus.

Berikut ini nukilan dari beberapa ulama rahimahumullah tentang hal itu. Al-Allamah Ahmad Syakir rahimahullah ketika menyesalkan banyaknya kebiasaan puasa yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin yang bertentangan dengan hakikat puasa itu sendiri mengatakan,

إنِّي أرى في كثير ممَّا اتَّخذنا من العادات في الصَّوم ما ينافي حقيقته، بل ما يحبط الأجر عليه، بل ما يزيد الإنسان إثمًا

“Sesungguhnya saya melihat banyak dari kebiasaan yang kita lakukan dalam berpuasa bertentangan dengan hakikat puasa, bahkan menggugurkan pahalanya, lebih dari itu, malah menyebabkan manusia bertambah dosa” (Jamharah Maqalat Ahmad Syakir: 2/692 PDF).

Puasa adalah berpuasanya seluruh anggota tubuh


Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan hakikat puasa ditinjau dari sisi anggota tubuh manusia yang ditahan dari melakukan hal-hal yang disyari’atkan untuk ditahan ketika berpuasa,

والصَّائم هو الَّذي صامت جوارحه عن الآثام، ولسانه عن الكذب والفحش وقول الزُّور وبطنه عن الطَّعام والشَّراب وفرجه عن الرَّفَث

“Orang yang berpuasa adalah orang yang (seluruh) anggota tubuhnya berpuasa dari dosa-dosa, dan lisannya pun berpuasa dari dusta, ucapan keji dan ucapan batil, puasa perutnya dari makan dan minum, puasa kemaluannya dari bersetubuh” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54).

Buah Puasa yang hakiki


Hakikat puasa yang sempurna itu, ketika seluruh anggota tubuh sama-sama berpuasa. Jika seseorang melakukan ibadah puasa dengan bentuk yang seperti itu, maka akan didapatkan buah-buah manis seperti yang dijelaskan Ibnul Qoyyim di bawah ini,

فإنْ تكلَّم لم يتكلَّم بما يجرح صومه، وإن فعل لم يفعل ما يفسد صومه، فيخرج كلامه كلُّه نافعًا صالحًا، وكذلك أعماله

“Maka jika ia berbicara, tidaklah mengucapkan ucapan yang menodai puasanya, dan jika ia berbuat, tidaklah melakukan perbuatan yang merusak puasanya, hingga keluarlah seluruh ucapannya dalam bentuk ucapan yang bermanfaat lagi baik, demikian pula untuk perbuatannya.”

فهي بمنزلة الرَّائحة الَّتي يشمُّها من جالس حامل المسك، كذلك من جالس الصَّائم انتفع بمجالسته، وأَمِن فيها من الزُّور والكذب والفجور والظُّلم، هذا هو الصَّوم المشروع لا مجرَّد الإمساك عن الطَّعام والشَّراب

“Maka ucapan dan perbutannya tersebut seperti bau harum yang dicium oleh orang yang duduk menemani pembawa minyak wangi misk! Demikianlah orang yang menemani orang yang berpuasa (dengan sebenar-benar puasa), niscaya akan mengambil manfaat dari pertemanannya tersebut, ia akan merasa aman dari ucapan batil, dusta, kefajiran dan kezhaliman. Inilah sesungguhnya puasa yang disyari’atkan, ia tidak sekedar menahan dari makan dan minum” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal. 54).

Mengapa bukan hanya makanan dan minuman yang tertuntut untuk ditinggalkan saat berpuasa?


Simaklah penuturan Ibnul Qoyyim berikut ini,

فالصَّوم هو صوم الجوارح عن الآثام، وصوم البطن عن الشَّراب والطَّعام؛ فكما أنَّ الطَّعام والشَّراب يقطعه ويفسده، فهكذا الآثام تقطع ثوابَه، وتفسدُ ثمرتَه، فتُصَيِّره بمنزلة من لم يصُم

“Maka puasa (yang hakiki) adalah puasanya seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa dan puasanya perut dari minuman dan makanan. Sebagaimana makan dan minum itu memutuskan kesahan puasa dan merusaknya, maka demikian pula dosa-dosa akan memutuskan pahala puasa dan merusak buahnya, hingga membuatnya menjadi seperti kedudukan orang yang tidak berpuasa” (Shahih Al-Wabilish Shayyib, hal.54-55).

Itulah uraian ulama kita rahimahumullah tentang hakikat puasa. Penjelasan hal ini diambil dari dalil-dalil tentang karakteristik puasa yang benar. Insyaallah, akan penulis isyaratkan sebagian dalil-dalil tersebut pada tempatnya di seri artikel tentang hal itu.

Tahukah Anda bagaimana tingkatan orang-orang yang berpuasa itu? Simaklah keterangan berikut ini!


Hakikat Puasa adalah puasa lahir dan batin


Sesungguhnya puasa yang disyari’atkan bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum, namun hakikatnya adalah puasa yang meliputi dua dimensi sekaligus, lahir maupun batin. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah rahimahumullah dari dulu telah menjelaskan tentang hakikat puasa yang memiliki dua dimensi sekaligus.

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam ringkasan kitab Ibnul Jauzi rahimahullah yang dinamakan Mukhtashar Minhajil Qashidin, pada hal. 44 menjelaskan tentang tingkatan puasa,

وللصوم ثلاث مراتب: صوم العموم ، وصوم الخصوص ، وصوم خصوص الخصوص

Puasa memiliki tiga tingkatan:
  • Puasa umum,
  • Puasa khusus, dan
  • Puasa super khusus

Beliaupun menjelaskan satu persatu macam-macam puasa tersebut,

1. Puasa Orang Umum


Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

فأما صوم العموم: فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة

“Adapun puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menuruti selera syahwat (menahan diri dari melakukan berbagai pembatal puasa, seperti makan, minum, dan bersetubuh).”

Puasa jenis umum ini jelas sekali diambil dari dalil-dalil tentang adanya pembatal-pembatal puasa.

2. Puasa Orang Khusus (VIP)


Ibnu Qudamah rahimahullah melanjutkan penjelasannya,

وأما صوم الخصوص: فهو كف النظر ، واللسان ، والرجل ، والسمع ، والبصر، وسائر الجوارح عن الآثام

“Dan puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota tubuh dari dosa-dosa.”

Puasa jenis khusus ini diambil dari dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hakikat disyari’atkannya puasa itu untuk sebuah hikmah meraih derajat ketakwaan dan takut kepada Allah, sehingga dengannya orang yang berpuasa bersih jiwanya dari seluruh kemaksiatan dan menjadi orang yang diridhai oleh-Nya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah

firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqarah: 183).

3. Puasa Super Khusus (VVIP)


وأما صوم خصوص الخصوص: فهو صوم القلب عن الهمم الدنية ، والأفكار المبعدة عن الله ـ سبحانه وتعالى ـ ، وكفه عما سوى الله ـ سبحانه وتعالى ـ بالكلية

“Adapun puasa super khusus adalah puasanya hati dari selera yang rendah dan pikiran yang menjauhkan hatinya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menahan hati dari berpaling kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala secara totalitas”

Adapun dalil-dalil tentang puasa super khusus ini adalah:

Dalil-dalil tentang jenis puasa khusus yang telah disebutkan di atas dan dalil tentang bahwa baiknya hati adalah asas bagi baiknya anggota tubuh yang lainnya. Sehingga ketakwaan yang asasi adalah ketakwaan hati, maka jika hikmah disyari’atkannya puasa itu adalah untuk meraih ketakwaan, maka hakikatnya, yang pertama kali tercakup adalah ketakwaan hati, karena ketakwaan yang paling mendasar dan paling agung adalah ketakwaan hati.

Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ

“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sesungguhnya bagi setiap ibadah terdapat hukum dan adab yang perlu diperhatikan oleh seorang hamba yang hendak menunaikannya. Terlebih lagi jika ibadah tersebut adalah ibadah yang sangat agung dan memiliki kekhususan tersendiri, seperti ibadah puasa yang sedang kita pelajari ini.

Al-‘Allamah Ahmad bin Abdir Rahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah, yang dikenal dengan nama Ibnu Qudamah, dalam kitabnya Mukhtashar Minhajil Qashidin mengatakan,

اعلم: أن في الصوم خصيصة ليست فى غيره، وهى إضافته إلى الله عز وجل حيث يقول سبحانه: “الصوم لى وأنا أجزى به” 1 ، وكفى بهذه الإضافة شرفاً، كما شرَّف البيت بإضافته إليه فى قوله: {وَطَهِّرْ بَيْتِيَ} (الحج: 26)

“Ketahuilah, bahwa puasa memiliki kekhususan yang tidak terdapat dalam ibadah yang lainnya, yaitu disandarkannya ibadah puasa ini kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yang mana Allah Subhanahu berfirman “Puasa adalah untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Cukuplah penyandaran ini sebagai sebuah kemuliaan, sebagaimana Allah telah memuliakan Al-Baitul Haram dengan menyandarkannya kepada-Nya dalam firman-Nya {وَطَهِّرْ بَيْتِيَ} Dan sucikanlah rumah-Ku (Al-Hajj: 26)”

وإنما فضل الصوم لمعنيين:

– أحدهما: أنه سرّ وعمل باطن، لا يراه الخلق ولا يدخله رياء.

– الثاني: أنه قهر لعدو الله، لأن وسيلة العدو الشهوات، وإنما تقوى الشهوات بالأكل والشرب، وما دامت أرض الشهوات مخصبة، فالشياطين يترددون إلى ذلك المرعى، وبترك الشهوات تضيق عليهم المسالك.

Sesungguhnya keutamaan puasa dikarenakan dua faktor:

Puasa adalah ibadah yang dilakukan secara rahasia dan amal batin, (pada umumnya) makhluk tidak mengetahuinya dan ibadah tersebut tidak terkontaminasi riya`.
Puasa itu mampu menaklukkan musuh Allah karena pintu masuk musuh Allah (menyimpangkan manusia) adalah syahwat, sedangkan syahwat menguat dengan makan dan minum. Selama lahan syahwat itu subur (syahwat dituruti), maka setan-setan pun hilir -mudik ke lahan santapannya tersebut. Dengan meninggalkan syahwat lah akan sempit jalan-jalan bagi mereka (setan-setan) (Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 43 (PDF).

Tentunya suatu ibadah yang memiliki keistimewaan seperti itu sangat perlu untuk kita lakukan adabnya sebaik-baiknya. Apalagi jika telah kita ketahui bersama dalam artikel sebelumnya (bacalah artikel: Hakikat Puasa (3)), bahwa ibadah puasa memiliki beberpa tingkatan, yang jelas tidaklah bisa diraih dengan sempurna tingkatan demi tingkatan itu, kecuali dengan melakukan adab-adabnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan sebagian dari adab-adab tersebut,

فمن آداب صوم الخصوص: غض البصر، وحفظ اللسان عما يؤذى من كلام محرم أو مكروه، أو ما لا يفيد، وحراسة باقي الجوارح. وفى الحديث من رواية البخارى، أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: ” من لم يدع قول الزور والعمل به، فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه“

“Di antara adab puasa khusus adalah menundukkan pandangan, menjaga lisan dari ucapan haram yang menyakiti (orang lain) atau ucapan makruh (tidak dicintai oleh Allah) atau sesuatu yang tidak berfaidah, dan menjaga anggota-anggota tubuh lainnya (dari melakukan perbuatan haram atau makruh, pent.). Dalam Hadits dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak menginginkan aktifitas meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya)’.

ومن آدابه: أن لا يمتلئ من الطعام في الليل، بل يأكل بمقدار، فإنه ما ملأ ابن آدم وعاءً شراً من بطن. ومتى شبع أول الليل لم ينتفع بنفسه فى باقيه، وكذلك إذا شبع وقت السحر لم ينتفع بنفسه إلى قريب من الظهر، لأن كثرة الأكل تورث الكسل والفتور، ثم يفوت المقصود من الصيام بكثرة الأكل، لأن المراد منه أن يذوق طعم الجوع، ويكون تاركاً للمشتهى.

Di antara adab-adab puasa khusus adalah (perut) tidak terpenuhi dengan makanan pada malam hari, bahkan makan secukupnya, karena sesungguhnya, tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk daripada perutnya. Kapan saja seseorang itu kenyang di awal malam, maka ia tidak mampu menggunakan tubuhnya (untuk melakukan kebaikan) di sisa waktu malam tersebut dan demikian pula jika ia kenyang saat waktu sahur, maka ia tidak mampu menggunakan tubuhnya (untuk melakukan kebaikan) sampai waktu mendekati zhuhur. Karena kebanyakan makan membuahkan kemalasan dan kelemahan semangat, lalu terluput maksud puasa dengan banyak makan, karena yang diinginkan (dalam puasa) adalah merasakan lapar hingga (dengan sebabnya) ia menjadi orang suka meninggalkan sesuatu yang disukai oleh hawa nafsunya (secara melampui batas) (Mukhtashar Minhajil Qashidin, hal. 44 (PDF)).

Fadhilatusy Syaikh DR. Sami Ash-Shuqoir hafizhahullah –salah satu dari tiga masyayikh yang ditunjuk oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebagai pengganti beliau mengasuh markas ilmiyyahnya- pernah menjelaskan tentang adab-adab puasa, secara ringkas beliau menyebutkan ada dua adab yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa, yaitu:

1. Adab-adab yang wajib dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa

Melaksanakan kewajiban berupa ucapan ataupun perbuatan, yang umum maupun yang khusus terkait dengan ibadah puasa, seperti: Bertauhid (dan ini kewajiban yang terbesar), memenuhi rukun puasa yang wajib dilakukan, kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar dan shalat berjama’ah bagi laki-laki yang sudah baligh, menjauhi ucapan dan perbuatan yang haram, baik yang umum maupun yang khusus terkait dengan ibadah puasa, seperti pembatal puasa Ramadhan, bersaksi palsu, ucapan batil, melangkah menuju tempat-tempat kemaksiatan.

2. Adab-adab yang sunnah yang tertuntut dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa

Ibadah puasa juga memiliki adab-adab puasa yang sunnah dilakukan. Walaupun tidak sampai wajib hukumnya, namun sangat penting dilakukan untuk kesempurnaan ibadah puasanya dan membantu meraih hakikat puasa dan maksudnya, seperti: makan sahur, menyegerakan berbuka, shalat Tarawih, dzikir, shadaqah, dan yang lainnya. Ketahuilah, bahwa memperbanyak ketaatan pada Allah saat puasa bulan Ramadhan sangat ditekankan, terlebih lagi membaca Al-Qur’an, karena bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an, bulan kebaikan dan bulan barakah.

(Diolah dari: http://vb.tafsir.net/tafsir27362/#.VWkdx0bURTR)

Semoga Hadits berikut menjadi pendorong bagi kita untuk berlomba-lomba beribadah dan beramal shaleh pada bulan Ramadhan. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

«كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ بِالخَيْرِ، وكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ، وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْه السَّلَامَ يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِي رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ القُرْآنَ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ عَلَيْه السَّلَامَ كَانَ أَجْوَدَ بِالخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ المُرْسَلَةِ»

“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan dalam melakukan kebaikan. Dan beliau paling dermawan ketika bulan Ramadhan saat Jibril ‘alaihissalam menemuinya. Jibril ‘alaihis salam menjumpai beliau setiap malam di bulan Ramadhan sampai Ramadhan berlalu. Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam menyetorkan hafalan AlQur’an kepadanya. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih dermawan melakukan kebaikan daripada angin yang bertiup” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Semua ibadah, baik berbentuk ucapan ataupun perbuatan, lahir maupun batin, terkait dengan badan maupun harta, maka tidak lain merupakan amal tazkiyyatun nufus, pensucian jiwa dan hati dari kekotoran. Setiap ibadah itu adalah gizi bagi hati yang membuahkan kebersihan hati, kebaikan akhlak, dan meningkatkan keimanan. Contohnya adalah empat ibadah yang penting dan berstatus rukun Islam, yaitu shalat, puasa ramadhan, zakat mal, dan haji berikut ini.

Shalat


Tentang shalat, Allah Ta’ala mengaitkan ibadah shalat dengan buahnya, berupa kebersihan jiwa dari kekejian dan kemungkaran,Dia berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari kekejian dan kemungkaran” (Al-‘Ankabuut: 45).

Zakat


Tentang zakat, Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103).

Di dalam Ayat tersebut terdapat penjelasan zakat jika ditunaikan dengan baik adalah untuk mensucikan jiwa dari kotoran-kotoran dosa.

Haji


Rukun Islam kelima, haji, Allah Ta’ala berfirman:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik (kemaksiatan) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” (Al-Baqarah: 197).

Di dalam Ayat tersebut, terdapat penjelasan, bahwa haji yang baik tidaklah pernah selaras dengan rafats, fasik (kemaksiatan) dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Seseorang yang menunaikan haji dengan benar akan suci jiwanya dari perkara-perkara tersebut.

Puasa


Demikian pula untuk ibadah puasa, insyaallah akan kami sebutkan setelah ini.
Renungan

Ketauhilah, bahwa setiap ibadah yang kita lakukan, namun tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan kebersihan jiwa, berarti ibadah tersebut telah terkontaminasi. Bisa jadi termasuki kotoran riya, tujuan duniawi, atau kotoran ilmu yang salah dalam memandang sebuah ibadah dan yang semisalnya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,

كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ

“Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki kotoran (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki kotoran” (Al-Fawaid).
Lihatlah hakikat, jangan tertipu dengan lahiriyah suatu amal!

Dari penjelasan di atas, mari kita intropeksi diri, bagimanakah ibadah-ibadah yang selama ini kita lakukan? Apakah terpenuhi kriteria ibadah yang diterima oleh Allah? Ataukah justru ibadah-ibadah yang kita lakukan selama ini, banyak yang sekedar aktifitas lahiriyyah tanpa ada ruhnya? Jika memang demikian, tidakkah kita malu mempersembahkan kepada Rabb kita sesuatu tanpa ruh, ibarat bangkai tak bernyawa?

Apakah selama ini kita benar-benar telah perhatian terhadap hakikat peribadatan ataukah dalam mengerjakan ibadah masih lebih banyak perhatian kepada lahiriyyah suatu ibadah; asal sah ibadah tersebut atau asal gugur kewajiban ibadah tersebut?

Perhatikan beberapa nukilan berikut ini yang menggambarkan bahwa para ulama dari dulu sangat perhatian terhadap hakikat suatu amal!

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya Al-Ubudiyyah menyatakan,

فالعاقل ينظر إلى الحقائق لا إلى الظواهر

“(Ciri khas) orang yang berakal adalah melihat hakikat (sesuatu),tidak terjebak dengan lahirnya”

Demikian pula Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

رب قائم حظه من قيامه السهر، كم من قائم محروم و من نائم مرحوم، هذا نام و قلبه ذاكر و هذا قام و قلبه فاجر

“Bisa jadi orang yang shalat malam, namun hanya mendapatkan begadang saja (tidak dapat pahala). (Ingatlah) berapa banyak orang yang shalat malam namun tidak dirahmati (oleh Allah), sedangkan yang tidur justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang kedua memang lahirnya (yang nampak) tidur, namun hatinya ingat Allah (bertakwa), adapun orang yang pertama memang zhahirnya shalat malam, namun sayangnya hatinya menyimpan maksiat”

Beliau juga berkata,

كم من مستغفر ممقوت و ساكت مرحوم ، هذا استغفر و قلبه فاجر و هذا سكت و قلبه ذاكر

“(Ingatlah)berapa banyak orang yang lisannya istighfar,namun dibenci (oleh Allah),sedangkan orang yang lisannya diam,malah justru dirahmati. Rahasianya adalah orang yang pertama ini lisannya memang istighfar, namun hatinya menyimpan maksiat, adapun orang yang kedua, lisannya diam,namun hatinya ingat Allah (bertakwa)” (Lathoiful Ma’arif, Ibnu Rajab rahimahullah).

Dalil-dalil yang menunjukkan hakikat puasa yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala.

Puasa yang hakiki adalah puasa membuahkan ketakwaan


Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (Al-Baqarah: 183).

Allah Ta’ala telah kabarkan hikmah yang agung dan faedah yang mulia berupa diraihnya ketakwaan, sedangkan takwa adalah melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan hikmah diperintahkannya berpuasa,

لما فيه من زكاة النفس وطهارتها وتنقيتها من الأخلاط الرديئة والأخلاق الرذيلة

“Di dalam ibadah puasa itu terdapat kesucian jiwa dan kebersihannya serta mensterilkan dari kotoran yang buruk dan akhlak yang hina” (Tafsir Ibnu Katsir).

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan lebih rinci tentang bentuk ketakwaan yang diperoleh dengan berpuasa, setelah menyebutkan firman Allah:

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Agar kalian bertakwa”, dengan mengatakan,

فإن الصيام من أكبر أسباب التقوى, لأن فيه امتثال أمر الله واجتناب نهيه

“Sesungguhnya puasa termasuk salah satu sebab terbesar diraihnya ketakwaan, karena di dalam ibadah puasa terdapat bentuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.”

فمما اشتمل عليه من التقوى: أن الصائم يترك ما حرم الله عليه من الأكل والشرب والجماع ونحوها, التي تميل إليها نفسه, متقربا بذلك إلى الله, راجيا بتركها, ثوابه، فهذا من التقوى

“Yang termasuk dalam cakupan takwa (yang terdapat dalam ibadah puasa ini, pent.) adalah bahwa seorang yang berpuasa meninggalkan perkara yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum, bersetubuh, dan lainnya yang disenangi oleh nafsunya dengan niat mendekatkan dirinya kepada Allah, mengharap pahala-Nya dengan meninggalkan perkara-perkara tersebut, maka ini termasuk bentuk ketakwaan.”

ومنها: أن الصائم يدرب نفسه على مراقبة الله تعالى, فيترك ما تهوى نفسه, مع قدرته عليه, لعلمه باطلاع الله عليه

“Di antara bentuk-bentuk ketakwaan dari ibadah puasa ini adalah bahwa orang yang berpuasa melatih dirinya untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allah Ta’ala, sehingga ia meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya, padahal ia memiliki kemampuan untuk melakukannya, karena ia meyakini bahwa Allah mengawasinya.”

ومنها: أن الصيام يضيق مجاري الشيطان, فإنه يجري من ابن آدم مجرى الدم, فبالصيام, يضعف نفوذه, وتقل منه المعاصي

“Di antaranya juga bahwa puasa itu menyempitkan jalan-jalan setan dalam tubuh manusia, karena setan berjalan dalam diri keturunan Nabi Adam -‘alaihis salam- di tempat aliran darah. Maka dengan puasa melemahkan kekuatan setan dan menjadi sedikit kemaksiatan karenanya.”

ومنها: أن الصائم في الغالب, تكثر طاعته, والطاعات من خصال التقوى

“Di antaranya pula bahwa orang yang berpuasa pada umumnya banyak melakukan ketaatan, sedangkan ketaatan adalah bagian dari ketakwaan.”

ومنها: أن الغني إذا ذاق ألم الجوع, أوجب له ذلك, مواساة الفقراء المعدمين, وهذا من خصال التقوى

“Di antaranya adalah orang yang kaya jika merasakan pedihnya lapar (saat berpuasa), hal itu mendorongnya untuk meringankan kesulitan orang-orang fakir yang tak berharta, dan ini adalah bagian dari ketakwaan” (Tafsir As-Sa’di)


Puasa yang hakiki adalah puasa yang bersih dari ucapan dan perbuatan yang haram


Dalam Hadits dari riwayat Al-Bukhari, bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak menginginkan (tidak memberi pahala) aktifitas meninggalkan makan dan minum yang dilakukannya (puasanya)” (HR. Al-Bukhari).

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

فأما قول الزور فهو: كُلُّ قولٍ محرّم من السب، والشتم، والكذب، والغِيبة، والنّميمة والفحش… وأما العمل بالزور فهو: العمل بكل فعل محرم من الغش والخيانة والخيانة في البيع والشراء وغيرهما والربا صريحًا كان أو تحيُّلاً

“Maka adapun ucapan “az-zuur” adalah setiap ucapan yang haram, baik berupa mencela, mengumpat, dusta, menggunjing, mengadu domba…dan adapun amal “az-zuur” adalah setiap perbuatan yang haram berupa penipuan , khianat, khianat dalam jual beli dan selainnya, dan riba yang terang-terangan ataupun yang akal-akalan” (http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml)

Adapun tentang makna “maka Allah tidak menginginkan…” dalam hadits di atas, telah dijelaskan oleh Ibnul ‘Arabi rahimahullah yang dinukilkan dalam kitab Fathul Bari,

مقتضى هذا الحديث أن من فعل ما ذكر لا يثاب على صيامه ، ومعناه : أن ثواب الصيام لا يقوم في الموازنة بإثم الزور وما ذكر معه

“Konsekuensi yang ditunjukkan Hadits ini bahwa barangsiapa yang melakukan larangan yang disebutkan dalam Hadits ini maka puasanya tidak diberi pahala, maksudnya bahwa pahala puasanya tidak bisa mengalahkan dosa “az-zuur” dan apa yang disebutkan bersamanya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan perkataan Al-Baidhawi rahimahullah dalam Fathul Bari,

ليس المقصود من شرعية الصوم نفس الجوع والعطش ، بل ما يتبعه من كسر الشهوات وتطويع النفس الأمارة للنفس المطمئنة ، فإذا لم يحصل ذلك لا ينظر الله إليه نظر القبول ، فقوله : ليس لله حاجة مجاز عن عدم القبول ، فنفى السبب وأراد المسبب ، والله أعلم

“Bukanlah maksud disyari’atkannya puasa adalah lapar dan dahaganya, namun maksudnya adalah perkara yang mengikutinya berupa menundukkan syahwat dan memudahkan jiwa yang sifatnya memerintahkan kepada yang buruk, untuk menjadi jiwa yang tenang dalam keimanan, maka jika tidak didapatkan hal itu ,maka Allah tidak melihatnya dengan pandangan penerimaan (tidak memberi pahala, pent.)”

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

أي: أن الله تعالى لا يريد منَّا من الصيام أن ندع الطعام والشراب ولكن يريد منَّا أن ندع قول الزور والعمل به والجهل

“Yaitu bahwa Allah Ta’ala tidaklah menghendaki dari ibadah puasa kita , (sekedar) meninggalkan makan dan minum, namun (hakekatnya) menghendaki dari kita agar kita meninggalkan ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh” (http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml)

Beliau juga berkata:

فالذي لا يترك هذه الأشياء لم يَصُمْ حقيقةً، فهو قد صَامَ عمَّا أحلَّ اللهَ، وفعل ما حرَّم الله

“Maka orang yang tidak meninggalkan meninggalkan perkara-perkara ini (ucapan dan perbuatan haram dan tindakan bodoh), maka hakekatnya ia tidak puasa, karena memang (zhahirnya) ia puasa (menahan) dari perkara yang dihalalkan oleh Allah, namun ia melakukan perkara yang diharamkan oleh-Nya”
(http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=29384).

Puasa yang hakiki adalah puasa yang berbuah ampunan Allah


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

صعد النبي صلى الله عليه وسلم المنبر فقال: آمين، آمين، آمين، قيل يا رسول الله إنك صعدت المنبر فقلت: آمين آمين آمين، قال: أتاني جبريل عليه الصلاة والسلام فقال: من أدرك شهر رمضان فلم يغفر له فدخل النار فأبعده الله ، قل : آمين ، فقلت: آمين

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah naik mimbar kemudian berkata, ‘Amin, Amin, Amin’ Ditanyakan kepadanya, ‘Ya Rasulullah, (mengapa) Anda naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?’ Beliau bersabda,
‘Sesungguhnya Jibril ‘alaihish shalatu was salam datang kepadaku, dia berkata, ‘Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan namun tidak diampuni dosanya, maka akan masuk Neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan, ‘Amin’, maka akupun mengucapkan, ‘Amin’” (HR. Ibnu Hibban, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari kedua Hadits tersebut, nampaklah bahwa puasa yang dikehendaki oleh Allah adalah puasa yang membuahkan ampunan-Nya.

Puasa yang hakiki adalah puasa yang bersih dari ucapan keji dan tindakan bodoh


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‏الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلا يَرْفُثْ وَلا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ ـ مَرَّتَيْنِ

“Puasa itu adalah perisai, maka janganlah (seseorang yang sedang berpuasa) mengucapkan ucapan yang kotor, dan janganlah bertindak bodoh, dan jika ada orang yang sewenang-wenang merebut haknya atau mencelanya, maka katakan, ‘Saya sedang puasa’ -dua kali-” (HR. Al-Bukhari).

Penjelasan

Puasa adalah sebuah syari’at yang dimaksudkan agar orang yang melakukannya menahan diri dari menuruti hawa nafsu, agar menjadi perisai bagi dirinya dari api Neraka di akhirat kelak karena Neraka memang diliputi oleh hawa nafsu (syahwat).

Nah, untuk meraih maksud puasa yang hakiki inilah, kita diperintahkan untuk menahan diri dari semua perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala, di antaranya adalah menahan diri dari mengucapkan ucapan yang kotor dan bertindak bodoh, serta tidak meladeni orang yang memancing emosi kita, dikarenakan hal itu bisa menodai puasa kita.

Itulah hakikat puasa yang sesungguhnya, ia bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum semata.

Puasa yang hakiki bukanlah sekedar menahan makan dan minum


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رب صائم حظه من صيامه الجوع والعطش

“Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga” (HR. Ibnu Majah, Al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata Hasan Shahih).

Penjelasan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan keadaan puasa banyak orang, bahwa mereka tidak mendapatkan apapun kecuali lapar dan dahaga. Dengan demikian sesungguhnya orang yang puasanya sekedar menahan dari makan dan minum, dan pembatal puasa yang lainnya, namun tidak menjauhi keharaman-keharaman yang lain, maka hakikatnya ia belum mencapai hakikat puasa yang sebenarnya.

Penutup:

Akibat ibadah yang tidak berbuah ketakwaan dan kesucian jiwa


Ada sebuah kisah yang di dalamnya terdapat pelajaran besar, agar kita dalam memandang suatu ibadah, tidak terbatas kepada lahiriyah amal semata, namun mampu meneropong hakikat sebuah amal ibadah.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata:

قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! إِنَّ فُلَانَةَ – يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا وَصِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا – غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي النَّارِ . قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! فَإِنَّ فُلَانَةَ – يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا وَصَدَقَتِهَا وَصَلَاتِهَا – وَإِنَّهَا تَصَدَّقُ بِالْأَثْوَارِ مِنْ الْأَقِطِ وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ قَالَ : هِيَ فِي الْجَنَّةِ

“Seseorang bertanya, Wahai Rasulullah Seseungguhnya ada seorang wanita yang terkenal dengan banyaknya shalat, puasa dan sedekah, hanya saja ia dikenal pula suka menyakiti tetangganya dengan lisannya? Beliau sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Dia masuk Neraka.’ Lalu orang tersebut berkata lagi, “Wahai Rasulullah! seungguhnya ada seorang wanita yang dikenal sedikit puasa, sedekah, dan shalatnya, dan dia bersedekah dengan sepotong keju, namun ia tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya. Beliau sallallahu’alaihi wa sallam bersabda ‘Dia masuk Surga’” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Mundziri).

Nasihat Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

Beliau suatu saat mengatakan, “Seharusnya bagi kita -ketika kita sedang puasa- takwa kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla lebih besar daripada takwa kita pada saat sedang tidak berpuasa, walaupun takwa itu wajib dilakukan, baik pada saat tidak puasa maupun pada saat puasa, akan tetapi seharusnya dalam memperhatikan ketakwaan pada saat berpuasa itu lebih besar. Dan saya menduga, seandainya seseorang menahan diri dari kemaksiatan sebulan penuh, maka ia akan berubah cara beragamanya dan tingkah lakunya” (http://www.ajurry.com/vb/showthread.php?t=29384).

Beliau juga mengatakan, “Janganlah Anda mensikapi hari-hari puasa Anda, sama seperti mensikapi hari-hari ketika tidak puasa” (http://www.ibnothaimeen.com/all/khotab/article_144.shtml). Walhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihat.

***Muslim.or.id***


0 Response to "Hakekat Puasa"

Posting Komentar

Santun dalam berkomentar, cermin pribadi anda.